Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman
Islam dengan konsep, aturan, dan jalannya telah meletakkan
jurang pemisah antara kekafiran dan keimanan, kesyirikan dan ketauhidan,
kebatilan dan kebenaran, kebid’ahan dan sunnah. Jurang pemisah ini sesungguhnya
menjadi ujian besar bagi manusia dalam hidup. Maukah mereka tunduk pada aturan
itu atau mereka lebih memilih kebebasan dari semua tuntutan itu? Islam, sebagai
agama yang telah disempurnakan, menjunjung tinggi nilai-nilai ketinggian dan
kesakralan, melindungi kehormatan, darah, dan harta benda manusia. Islam
sebagai agama yang penuh kasih sayang mengajak orang-orang kafir untuk
meninggalkan agama mereka dan masuk ke dalam Islam. Islam pun mengobarkan
peperangan kepada siapa pun yang menolak dan memeranginya. Jurang pemisah ini
menjadi lampu merah bagi kaum muslimin dan mukminin agar tidak meniru gaya
hidup orangorang kafir, musyrik, dan ahlul batil.
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَن تَخْشَعَ
قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ
ۖ وَكَثِيرٌ مِّنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman,
untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada
mereka). Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan
al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang
fasik.” (al-Hadid: 16)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan, “Kalimat: Dan
jangan mereka seperti ahli kitab, ini adalah larangan yang bersifat
mutlak dalam hal meniru mereka. Ayat ini lebih khusus menekankan larangan
menyerupai mereka dalam hal kekerasan hati. Kerasnya hati adalah salah satu
buah kemaksiatan.” (Iqtidha’ ash-Shirathil Mustaqim hlm. 81)
Berita yang Pasti, Umat Ini Pasti Meniru Mereka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا
بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ
قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ فَمَنْ؟
“Sungguh, kalian akan mengikuti langkah orang-orang sebelum
kalian sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi sehasta. Kalaupun mereka
menempuh jalur lubang dhabb (binatangsejenis biawak), niscaya kalian akan
menempuhnya.” Kami mengatakan, “Ya Rasulullah, apakah jalan orang-orang Yahudi
dan Nasrani?” Beliau menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR.al-Bukhari
no. 3197 dan Muslimno. 4822 dari sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu
‘anhu)
Di dalam riwayat hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَا
تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِي بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا
شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ. فَقِيلَ: يَا رَسُولَ اللهِ، كَفَارِسَ
وَالرُّومِ؟ فَقَالَ: وَمَنِّ النَّاسُ إِلَّا أُولَئِكَ؟
“Tidak akan terjadi hari kiamat, hingga umatku mengambil
langkah generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, dan sehasta demi
sehasta.” Lalu dikatakan kepada beliau, “Ya Rasulullah, apakah bangsa Persi dan
Romawi?” Beliau bersabda, “Siapa lagi kalau bukan mereka?” (HR. al-Bukhari
no. 6774)
Berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam inisesungguhnya
sebagai pemberitahuanakan terjadinya sikap meniru orangkafir dalam semua lini
kehidupan.Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahmenjelaskan, “Berita
ini menggambarkansebuah kenyataan yang akan terjadisekaligus sebagai celaan
atas orangyang mengerjakannya. Beliau punmemberitakan apa yang akan
dilakukanoleh manusia mendekati hari kiamat,berupa tanda-tanda
kedatangannyaberikut segala perkara yang diharamkan.Maka dari itu, diketahui
bahwa Allah Subhanahu wata’aladan Rasul-Nya n mencela umat iniapabila
menyerupai Yahudi, Nasrani,Persi, dan Romawi. Inilah faedah yangdicari.” (Iqtidha’
ash-Shirathil Mustaqim hlm. 44)
Allah Subhanahu wata’ala telah melarang keras
kaummuslimin meniru mereka, sebagaimanafirman-Nya,
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ {} مِنَ
الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ
فَرِحُونَ
“Dan janganlah kalian seperti orang musyrik. Orang-orang
yang telah memecah belah agama mereka sehingga mereka berkeping-keping dan setiap
kelompok menyombongkan diri atas yang lain.” (ar-Rum: 31—32)
Bahkan, Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan
kita untuk berdoa agar tidak termasuk golongan mereka dalam banyak ayat. Di
antaranya,
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ {} صِرَاطَ
الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا
الضَّالِّينَ
“Tunjukilah kami ke jalan Engkau yang lurus. Jalan
orang-orang yang Engkau telah beri nikmat atas mereka dan bukan jalan
orang-orang yang Engkau murkai dan sesatkan.” (al-Fatihah: 6—7)
Suri Teladan dari Dua Khalilullah
Teladan hidup, sungguh sangat dibutuhkan setiap saat,
lebih-lebih ketika dilanda krisis keteladanan. Tentu saja teladan yang tidak
mengecewakan kita. Tentu pula teladan itu adalah orang-orang yang terdidik,
suci dan bersih, terbaik, terhormat, orang yang jujur, amanah, bertakwa kepada
Allah Subhanahu wata’ala, taat beribadah kepada Allah Subhanahu
wata’ala, serta memiliki sifat-sifat mulia dan agung lainnya. Apakah ada
pendidikan yang lebih tinggi daripada pendidikan Allah Subhanahu
wata’ala melalui wahyu-Nya? Adakah orang yang lebih baik dari utusan dan
kepercayaan Allah Subhanahu wata’ala dalam hal mengemban amanat
risalah-Nya? Adakah yang paling lurus hidupnya daripada orang yang telah
didekatkan oleh Allah Subhanahu wata’ala kepada-Nya? Adakah
orang yang lebih selamat daripada seseorang yang telah dipilih oleh
Allah Subhanahu wata’ala untuk menapaki jalan-Nya sekaligus
sebagai imam dalam hal ini? Adakah yang lebih jujur, amanah, dan lebih takut
kepada Allah Subhanahu wata’ala selain para nabi dan rasul?
Tentu kita akan memberikan jawaban, “Tidak ada.”
Oleh karena itu, dalam al-Qur’an Allah Subhanahu
wata’ala sering menampilkan sosok manusia yang bisa dijadikan teladan di
dalam hidup, teladan yang tidak akan mengecewakan. Mereka adalah orang-orang
yang telah teruji dalam segala kondisi. Mereka telah berjuang dengan segala
kemampuan, siang dan malam, tanpa mengenal lelah dan patah semangat. Mereka
telah berkorban dengan segala yang dimilikinya, tanpa mengharapkan imbalan dari
manusia sedikit pun. Mereka hanya mengejar ridha Allah Subhanahu
wata’alayang mengutus mereka. Allah l telah menceritakan sosok Nabi Nuh, Nabi
Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Nabi Muhammad, dan nabi-nabi yang lain.
As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Tidaklah setiap orang bisa
menjadikan mereka teladan. Yang mendapatkan kemudahan untuk meneladani mereka
adalah orang yang mengharapkan Allah Subhanahu wata’ala dan
ganjaran pada hari akhirat. Keimanan dan harapan akan pahala akan memudahkan
setiap hamba menghadapi segala kesulitan dan mengurangi beban hidup yang
banyak. Selain itu, keimanan akan mendorong untuk meneladani hamba-hamba
Allah Subhanahu wata’alayang saleh, para nabi dan rasul. Dia pun
akan melihat dirinya sangat membutuhkannya.” (Tafsir as-Sa’di hlm.
794)
Dalam bersikap terhadap orang kafir, Allah Subhanahu
wata’ala telah menceritakan di dalam al-Qur’an sikap dua khalil-Nya
agar kita meneladani mereka berdua.
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي
إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ
مِنكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا
بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّىٰ تُؤْمِنُوا
بِاللَّهِ وَحْدَهُ
Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada
Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya ketika mereka berkata kepada kaum
mereka, “Sesungguhnya Kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu
sembah selain Allah. Kami ingkari (kekafiran)mu serta telah nyata antara Kami
dengan kalian permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman
kepada Allah saja.” (al-Mumtahanah:4)
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ {} لَا أَعْبُدُ
مَا تَعْبُدُونَ {} وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ {} وَلَا أَنَا
عَابِدٌ مَّا عَبَدتُّمْ {} وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ {} لَكُمْ
دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
Katakanlah, “Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah
apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Ilah (sesembahan) yang aku
sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Ilah yang aku sembah. Untukmu agamamu dan
untukkulah agamaku.” (al-Kafirun: 1—6)
Karena Kebodohan, Meniru Mereka
Kebodohan adalah penyakit kronis, bagaikan tong sampah yang
akan menampung segala kotoran dan najis. Tidaklah mengherankan jika mereka
diumpamakan bagai orang-orang yang tuli lagi buta. Apa yang bisa dilakukan dan
apa yang bisa diperbuat? Tidaklah mengherankan jika di hadapan orang-orang
jahil, yang benar menjadi salah dan yang salah menjadi benar, yang haq menjadi
batil dan yang batil menjadi haq. Tidak pula mengherankan pula jika kaum
muslimin meniru orang-orang kafir dalam semua lini kehidupan. Mulai dari
perkara yang kecil sampai kepada yang besar, mulai dari masalah pakaian sampai
kepada masalah keyakinan dan ibadah. Bahkan, kebodohan ini sering mendatangkan
malapetaka bagi dirinya dan buat orang lain.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah
bercerita dalam hadits yang dikeluarkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dan
Muslim rahimahullahdari sahabat Abu Sa’id al- Khudri radhiyallahu
‘anhu tentang seseorang yang telah membunuh 99 jiwa. Karena kejahilannya
tentang pintu tobat, dia mencari seseorang yang akan bisa membimbing dirinya
keluar dari lumuran dosa tersebut. Bertemulah dia dengan seorang pendeta. Ia
pun mengutarakan hajatnya dan menceritakan dosa yang telah diperbuatnya. Dengan
kejahilan, sang pendeta memberitahukan bahwa pintu tobat sudah tertutup baginya.
Dengan spontan, jiwa sang pendeta melayang di tangannya, sekaligus menggenapkan
bilangan yang ganjil, dari 99 menjadi 100. Sungguh karena ketidaktahuan itu,
telah terenggut nyawa seorang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam. Mengetahui hal itu, beliau marah dengan kemarahan yang sangat.
Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu bercerita tentang peristiwa
tersebut,
ثُمَّ n أَصَابَ رَجُلاً جُرْحٌ فِي عَهْدِ
رَسُولُ اللهِ احْتَلَمَ، فَأُمِرَ بِالْاِغْتِسَالِ، فَاغْتَسَلَ، فَمَاتَ،
فَبَلَغَ فَقَالَ: قَتَلُوهُ؛ قَاتَلَهُمُ اللهُ، ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ
أَلَمْ يَكُنْ شِفَاءُ الْعِيِّ السُّؤَالَ؟
“Di masa Rasulullah n , ada seseorang terluka,
lalu dia bermimpi (janabah). Kemudian dia diperintahkan untuk mandi lantas dia
pun mandi. Karena itu, dia meninggal dunia. Sampailah berita tersebut kepada
Rasulullah lalu beliau bersabda, ‘Mereka telah membunuhnya dan semoga Allah l memerangi
mereka. Bukankah obat tidak tahu itu adalah bertanya?” (HR. Abu Dawud no.
285)
Asy – Syaikh al – Albani rahimahullah mengatakan,
“Haditsnya hasan dan diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban rahimahumallah dalam Shahih keduanya.”
(Lihat Shahih Sunan Abu Daud no. 365)
Hukum Meniru Orang Kafir
Saudaraku, kita masih mengingat pembahasan al-wala’ dan al-bara’ dalam
hukum agama dalam Asy-Syari’ahVol. Vl/No. 68/1432 H/2011. Tergambar
di dalamnya bentuk-bentuk loyalitas seorang muslim terhadap orangorang kafir.
Ternyata, tidak hanya dalam hal ideologi semata, tetapi dalam hal muamalah
dengan mereka yang keluar dari tuntunan agama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ketika
membawakan hadits,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, dia termasuk dari
mereka.”
Setelah menjelaskan kondisi paraperawi haditsnya, beliau
mengatakan,“Hukum yang paling ringan (dalammeniru orang kafir) di dalam hadits
iniadalah keharaman, kendatipun lahiriahhaditsnya menunjukkan kafirnya
orangyang menyerupai mereka, sebagaimanafirman Allah Subhanahu wata’ala,
وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ
“Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (al-Maidah:
51)
Ini semakna dengan ucapan Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu
‘anhuma, “Barang siapa tinggal di negeri kaum musyrikin dan melakukan hari
ulang tahun mereka, pesta besar mereka, dan meniru mereka sampai meninggal
dunia, dia akan dibangkitkan bersama mereka pada hari kiamat.” Terkadang, hal
ini dibawa kepada hukum tasyabuh yang bersifat mutlak, yaitu tasyabuh yang
menyebabkan seseorang kafir dan sebagiannya mengandung hukum haram. Bisa juga
dibawa pada makna bahwa dia seperti mereka sebatas apa yang dia tiru. Jika yang
dia tiru itu dalam hal kekafiran (dia menjadi kafir, -pen.), dan jika maksiat,
(ia telah bermaksiat). Jika dalam hal syiar kekufuran mereka atau syiar
kemaksiatan mereka, hukumnya semisal itu.” (Lihat al-Iqtidha hlm.
82—83)
Kita juga telah mengetahui bahwa hukum-hukum dalam agama
tidak keluar dari lima hal. Ibnu Qayyim t menjelaskan, “Hukum-hukum yang
terkait dengan ubudiyah itu ada lima, yaitu wajib, mustahab, haram, makruh, dan
mubah.” (Madarijus Salikin 1/109) Telah dijelaskan di atas tentang
haramnya meniru orang kafir secara mutlak. Namun, ada pembolehan, yakni jika
hal yang akan kita tiru tersebut tidak ada sangkut pautnya dengan urusan agama
dan keyakinan, serta tidak ada kaitannya dengan ciri khas dan adat istiadat
mereka. Hal itu bukan perilaku dan kebiasaan mereka, melainkan sebatas ursan
dunia yang tidak ada keharaman padanya. Yang seperti ini dibolehkan. Misalnya,
orang-orang kafir bisa membuat motor, mobil, pesawat, atau peranti teknologi
lain yang hukumnya secara zat tidak haram, lalu kaum muslimin menirunya. Hal
ini tidak mengapa.
Akibat Meniru Mereka
Tidaklah tersembunyi bagi setiap muslim bahwa orang-orang
kafir itu adalah musuh Allah Subhanahu wata’ala, para rasul, dan kaum
mukminin. Mereka adalah manusia yang telah menyandang predikat-predikat yang
buruk, jelek, dan keji dari Allah Subhanahu wata’ala. Mereka adalah
manusia yang berada dalam taraf makhluk yang paling rendah, hina, tercela,
terburuk, dan terkutuk, yang binatang ternak yang tidak berakal lebih baik dari
mereka.
أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ
أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ
“Mereka bagaikan binatang ternak, bahkan lebih jelek dari
itu. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (al-A’raf:179)
إِنْ هُمْ إِلَّا كَالْأَنْعَامِ ۖ بَلْ هُمْ
أَضَلُّ سَبِيلًا
“Tiadalah mereka itu melainkan seperti binatang ternak dan
bahkan mereka lebih jelek jalannya.” (al-Furqan:44)
وَلَقَدْ عَلِمْتُمُ الَّذِينَ اعْتَدَوْا
مِنكُمْ فِي السَّبْتِ فَقُلْنَا لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
“Sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar
di antaramu pada hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka, ‘Jadilah kamu
kera yang hina’.” (al-Baqarah: 65)
فَلَمَّا عَتَوْا عَن مَّا نُهُوا عَنْهُ قُلْنَا
لَهُمْ كُونُوا قِرَدَةً خَاسِئِينَ
Tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka
dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, “Jadilah kamu kera yang hina.” (al-A’raf:
166)
قُلْ هَلْ أُنَبِّئُكُم بِشَرٍّ مِّن ذَٰلِكَ
مَثُوبَةً عِندَ اللَّهِ ۚ مَن لَّعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ وَجَعَلَ
مِنْهُمُ الْقِرَدَةَ وَالْخَنَازِيرَ وَعَبَدَ الطَّاغُوتَ ۚ أُولَٰئِكَ شَرٌّ
مَّكَانًا وَأَضَلُّ عَن سَوَاءِ السَّبِيلِ
Katakanlah, “Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang
orangorang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) itu di sisi
Allah, yaitu orang-orang yang dikutuki dan dimurkai Allah, di antara mereka
(ada) yang dijadikan kera dan babi dan (orang yang) menyembah thaghut?” Mereka
itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus. (al-Maidah:
60)
Kerendahan dan kehinaan hidup— kendatipun mereka orang yang
paling kaya, paling tinggi kedudukan dan pangkatnya, dan bisa jadi paling kuat—
adalah stempel yang tidak akan berubah, cap yang terus melekat, tidak akan
hilang dan sirna. Allah Subhanahu wata’ala telah menghancurkan
dan membinasakan mereka ketika mereka menantang kekuasaan Allah Subhanahu
wata’ala, yaitu saat mereka menolak dan ingkar terhadap syariat yang dibawa
oleh para nabi dan rasul. Allah Subhanahu wata’ala juga telah
mempersiapkan pintu kehancuran dan kebinasaan untuk mereka, di dunia dan di
akhirat. Setelah ini semua, pantaskah seseorang yang beriman kepada Allah
Subhanahu wata’ala, para rasul-Nya, dan hari kiamat, meneladani, meniru,
dan mencontoh mereka? Adakah akal dan hati jika seorang yang beriman meniru
gaya hidup binatang yang tidak berakal, bahkan lebih jelek dari binatang
ternak? Adakah pintu bagi orang-orang beriman untuk masuk lalu hidup bermesraan
bersama orang-orang yang rendah, hina, jelek, keji, dan terkutuk? Pantaskah
orang-orang yang beriman mengangkat orang yang divonis sebagai musuh Allah Subhanahu
wata’ala, Rasul-Nya, dan mereka sendiri sebagai figur hidupnya? Jika ada orang
yang mengaku beriman meniru mereka, ini berarti sebuah keputusan hidup yang
akan melemparkan dirinya ke jurang kehancuran dan kebinasaan, sebagaimana
hancur dan binasanya mereka. Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber : http://asysyariah.com/akidah-ketika-orang-islam-telah-meniru-orang-kafir/
0 komentar:
Posting Komentar